peraturan pengelolaan sampah plastik

Peraturan Pengelolaan Sampah Plastik di Indonesia

Sampah sudah menjadi bagian dari percakapan kita sehari-hari. Peraturan pengelolaan sampah plastik dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan total sampah di Indonesia adalah 67,8 juta ton pada 2020. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2017, komposisi sampah Indonesia menurut jenisnya adalah didominasi oleh sampah organik dengan pangsa 60 persen, disusul sampah plastik dengan pangsa 14 persen dan sampah lainnya dengan pangsa 36 persen.

Pengelolaan sampah di Indonesia masih sangat tradisional, berdasarkan model pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan yang lama. Tidak ada proses untuk memilah atau mengurangi sampah di sumbernya. Sistem pembuangan seperti ini tidak mampu mengurangi jumlah sampah secara signifikan, malahan timbunan sampah habis dan menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA).

Peningkatan jumlah sampah di Indonesia setiap tahunnya merupakan salah satu dampak dari kebiasaan konsumsi masyarakat yang semakin meningkat. Konsumsi barang dan jasa dari produsen yang menggunakan bahan atau kemasan plastik, termasuk industri manufaktur, ritel, dan makanan dan minuman, berkontribusi besar terhadap masalah pencemaran sampah plastik di pemukiman dan ekosistem lingkungan.

Sampah plastik dari produsen adalah akar masalahnya

 

Saat ini, produk yang diperdagangkan biasanya tidak terlepas dari plastik, terutama perusahaan yang bergerak di bidang Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Berdasarkan laporan Greenpeace Membuang Masa Depan:

Bagaimana perusahaan masih gagal dalam “solusi” untuk polusi plastik Pada tahun 2018, 855 miliar kantong plastik terjual di seluruh dunia, dengan wilayah Asia Tenggara menguasai 50 persen pasar. Jumlah sampah plastik meningkat drastis setiap tahunnya. Menurut penulis, akar permasalahan ini terletak pada produsen yang tetap menggunakan bahan plastik pada produknya. Untuk saat ini, masalah sampah masih menjadi tanggung jawab konsumen sepenuhnya. Pada saat yang sama, produsen hampir tidak terpengaruh oleh kewajiban untuk bertanggung jawab atas produk yang mereka hasilkan. Ketidakseimbangan tanggung jawab ini harus segera diperbaiki.

Pada awal tahun 2021, Break Free From Plastic (BFFP) merilis informasi hasil Brand Audit 2020. Laporannya memeringkat sejumlah perusahaan global besar di antara 10 besar penghasil limbah plastik. 3 teratas adalah Coca-Cola Group (dijual di 51 negara, 13.834 plastik), Pepsico Group (dijual di 43 negara, 5.155 plastik) dan Nestle Group (dijual di 37 negara, 8.633 plastik). Informasi tersebut berasal dari audit limbah merek yang dilakukan oleh jaringan BFFP di 55 negara.

Di Indonesia sendiri, sampah plastik terbanyak yang ditemukan dalam audit merek berasal dari Danone (1052), Wings Food (552) dan Mayora Indah (492), menurut laporan BFFP. Berdasarkan laporan Greenpeace, tidak ada perusahaan di industri FMCG yang benar-benar berkomitmen untuk mengurangi produksi limbah plastik dari produk mereka. Oleh karena itu, penggunaan bahan plastik oleh produsen harus diperhatikan lebih serius oleh semua pihak terutama pemerintah.

Peraturan Pengelolaan Sampah Plastik untuk Produsen Indonesia

 

Padahal, pemerintah memiliki landasan hukum yang mengatur pengurangan limbah produk, terutama limbah yang persisten dan tidak dapat didaur ulang seperti kemasan plastik. Dasar hukumnya adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah di Pabrik, yang mengatur pengurangan sampah di pabrik tahun 2020-2029. Peraturan pengurangan sampah plastik ini merupakan turunan dari UU Sampah 2008 No. 18 di bawah § 15. Pengurangan produksi sampah oleh produsen ini dicapai melalui penggunaan bahan produksi yang terbuat dari bahan yang mudah terurai, daur ulang sampah dan wajib menggunakan kembali sampah. Selain itu, dalam rangka daur ulang dan pemanfaatan kembali sampah, harus disertai dengan sarana pembuangan dan penyimpanan sampah.

Penggunaan material yang tepat saja tidak cukup, produsen memiliki kewajiban untuk merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi dan melaporkan untuk mengurangi limbah yang dihasilkan oleh produsen. Selain itu, produsen diwajibkan mengedukasi konsumen untuk berpartisipasi dalam pengurangan sampah. Dewan juga dapat memberikan hadiah dan juga mempublikasikan pertunjukan buruk (penamaan dan mempermalukan) untuk produser.

Peraturan Pengelolaan Sampah Plastik Menurut LHK 75/2019 sebagai kemungkinan

 

Perm Nomor 75 Tahun 2019 merupakan upaya pemerintah untuk mengurangi jumlah sampah di Indonesia. Peraturan ini mengatur tanggung jawab produsen terhadap produknya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan limbah. Karamelli adalah salah satu implementasi dari Extended Producer Responsibility (EPR) yang belum diterapkan oleh pabrikan.

Permen ini bisa menjadi peluang untuk mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan oleh produsen. Tindakan keras pemerintah terhadap produsen diperlukan agar produsen dapat dimintai pertanggungjawaban atas limbah yang mereka hasilkan. Dengan cara ini, lebih baik bagi pemerintah untuk fokus pada pengurangan limbah dari sumber seperti produsen, daripada berfokus pada pengelolaan limbah melalui solusi end-of-pipe.

Sampai saat ini, narasi sampah dan pengolahannya terfokus pada konsumen dan pemerintah, seperti Mendorong perubahan perilaku konsumen dengan cara memilah sampah, menggunakan tas belanja ramah lingkungan, serta melarang dan membatasi penggunaan plastik sekali pakai. Pihak lain, yaitu asosiasi industri, tetap bekerja seperti biasa.

Ada beberapa kelompok industri yang menerapkan praktik baik tanggung jawab produsen pada produk mereka. Salah satunya adalah The Body Shop. Perusahaan memiliki program bernama Bring Back Our Bottles (BBOB) yang mendorong konsumen untuk mengembalikan botol kosong produk The Body Shop untuk didaur ulang.

Praktik baik sebagai bentuk tanggung jawab produsen, seperti The Body Shop dan beberapa pelaku ekonomi lainnya, patut diapresiasi. Tentunya diharapkan melalui Perme LHK 2019 nomor 75 ini, semakin banyak produsen yang turut serta mengurangi limbah kemasan produk sesuai dengan roadmap yang telah ditetapkan.

Jalanan Curam Permen LHK 75/2019

 

Pemerintah bertujuan untuk mengurangi limbah hingga 30 persen pada tahun 2030 dengan bantuan peta jalan pengurangan limbah produsen. Target pengurangan tersebut akan dilaksanakan secara bertahap (fasce out) dengan mekanisme yang melarang penggunaan jenis bahan tertentu di retail, industri dan gastronomi. Pengenalan bertahap, confectionery belum berorientasi pada industri petrokimia, target pengurangan yang kurang ambisius hingga target implementasi yang cukup lama menjadi tantangan bagi keberhasilan Permen LHK 75/2019.

Tantangan lainnya adalah pertumbuhan produksi sampah plastik di Indonesia yang terus meningkat. Data World Economic Forum (WEF) menunjukkan produksi sampah plastik Indonesia meningkat dari 6,8 juta ton pada 2017 menjadi 8,7 juta ton pada 2025. Hal ini bertentangan dengan upaya pengurangan sampah manufaktur yang menjadi pasar utama sampah. industri petrokimia berperan sebagai bahan baku produk dan kemasan plastik.

Budi Susanto, Direktur Pembinaan Usaha Gabungan Industri Plastik Indonesia (INAPLAS), mengatakan kepada Bisnis.com bahwa pemberlakuan Kepmen KLHK 75/2019 tidak akan melemahkan konsumsi bahan baku plastik bersih (virgin), karena pada tahun 2025 permintaan industri plastik nasional akan meningkat menjadi 8 juta ton pada tahun 2025. Dengan cara ini, produsen tidak berusaha mengurangi atau menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan.

RSS
Follow by Email